INILAH HUKUM MENOLAK AJAKAN SUAMI DIRANJANG
“Bila seorang suami memanggil istrinya ke ranjang lalu tidak dituruti, hingga sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat melaknati dirinya sampai Shubuh,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits abu Hurairah).
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke ranjang lalu sang istri enggan memenuhi panggilannya melainkan yang di atas langit (Allah Ta’ala) marah kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya,” (HR.Muslim).
Dunia medis modern merinci bahwa ada perbedaan mendasar antara kebutuhan biologis antara laki-laki dan perempuan. Islam, 1500 tahun yang lalu, sudah terlebih dahulu menjelaskan ini secara teramat sederhana dan padat.
Perbedaan seksualitas pria dan wanita dari segi medis
Dorongan seksual wanita cenderung berhubungan dengan siklus haid, sedangkan dorongan pria cukup konstan. Hormon testoteronlah yang merupakan faktor utama dalam menstimulasi dorongan seksual, wanita lebih banyak distimulasi oleh sentuhan dan kata-kata romantis. Ia lebih tertarik dengan kepribadian seorang pria.
Sementara para pria tertarik dari apa yang dilihatnya. Pria tidak membeda-bedakan kepada siapa ia tertarik secara fisik dan tidak membutuhkan banyak waktu pemanasan untuk melakukan hubungan seks. Tetapi, wanita sering kali membutuhkan waktu berjam-jam persiapan emosional dan mental.
Itu sebabnya, seorang suami dianjurkan untuk pulang menemui istrinya jika di perjalanan atau di luar rumah, ia menemukan “sesuatu yang ia lihat begitu menggoda.” Ini tentu untuk menjauhkan seorang suami dari perbuatan zina.
Sedangkan pada wanita polanya lebih cenderung dimulai pada ikatan emosional, saling sayang dan peduli. Setelah mereka merasakan hal itu, barulah kemudian muncul gairah dan ketertarikan akan seks.
Saking pentingnya memenuhi panggilan suami ini, seorang bahkan harus meninggalkan semua pekerjaannya saat itu ketika suaminya membutuhkan dirinya. Meskipun kondisi sedang haidh, sebab memenuhi panggilan suami ke ranjang tidak mesti melayaninya berjima’, namun boleh juga hanya untuk bersenang-senang, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul kita Muhammad.
Rasul bersama istrinya disaat haidh, beliau menutup bagian bawah istrinya dengan kain lalu bersenang-senang dengan istrinya.
Dan tentu syariat Islam juga memberikan keringanan kepada seorang istri jika benar-benar memiliki alasan yang syar’i untuk menolak dengan “halus” ajakan suami (jima’), seperti ketika haidh, berpuasa Ramadhan atau mengqadhanya, saat ihram atau mungkin istri sedang sakit, atau kelelahan yang membuat tidak mampu melayaninya. Faktor terpenting adalah komunikasi yang sehat dengan suami dalam hal ini.
Untuk itulah bila sampai terjadi penolakan sang istri memenuhi panggilan ranjang suaminya maka itu adalah satu kemaksiatan yang nyata dan sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya. Sebab kemarahan suami mengakibatkan kemurkaan Allah Ta’ala dan pelaknatan para malaikat terhadap sang istri. Wallahu ‘alam.